Aku Mencintaimu karena Allah
Dag dig dug duerrrrrr....
Itulah yang aku rasakan jika aku bertemu dengan Fanny.
"Aku kenapa ya To?" tanyaku pada sohib karibku, Anto.
"Waduh, aku bukan peramal Zi, so aku gak tau lah," jawab Anto sambil pergi meninggalkanku.
Ah masa bodo ah, pikirku.
Aku masih duduk dibangku SMA kelas satu, namaku Fauziah, biasa dipanggil Zi oleh teman-temanku. Anto adalah sahabat karibku dari SD. Fanny, yah Fanny adalah primadona di sekolahku. Banyak anak cowok yang naksir dia. Anaknya baik, ramah, murah senyum, gak sombong meskipun dia cerdas dan juara satu umum semester satu kemarin. Akupun tak bisa membohongi diri sendiri kalau aku juga suka sama dia, meskipun dia belum termasuk kriteriaku. Ya, aku ingin punya pacar yang memakai jilbab (meskipun aku sendiri bukan orang yang terlalu paham masalah agama), dan tidak hanya sekedar pacaran doank. Kalau bisa ya sampai ke pelaminan...hehehe...
"Duileee...bengong aja nie, ntar kesambet lho," suara Anto mengejutkanku.
"Ntah lah To, aku masih berfikir, kenapa aku selalu deg degan kalo lagi deket sama Fanny".
"Kan dia cuma temen aja To, lagian dia juga sudah punya cowok."
"Heran deh," kataku sambil garuk-garuk kepala yang sebenarnya tidak gatal sama sekali.
"Ah, cuma temen, atau demen nih, hahaha" ledek Anto.
"Wah ternyata, anak Rohis bisa bilang kayak gitu juga ya," balasku.
Ya Anto menjadi pengurus Rohis di SMA, dia mulai tertarik dengan agama setelah masuk SMA ini.
Anto tak mendengarkan kata-kataku, dia langsung pergi begitu saja.
Hari-hari di SMA ku lalui dengan selalu menyimpan rasa penasaranku terhadap apa yang ku rasakan.
Setelah lulus SMA, sampai aku kuliah pun perasaan itu masih ada.
Aku sedikit merasa terganggu dengan perasaan-perasaan yang selalu membayangiku.
Akhirnya ku putuskan untuk mengikuti majelis pengajian bersama teman-teman kuliah.
Awalnya aku hanya ikut-ikutan saja, hanya untuk menyibukkan diri. Tapi lama-kelamaan aku sadar bahwa inilah yang sangat ku butuhkan. Aku mulai menyukai dunia yang serba islami. Dalam setiap momen pun aku tidak mau ketinggalan. Aku ingin menjadi orang yang berguna dan benar-benar dibutuhkan bagi orang lain.
Sisa waktu kuliah pun tidak ku sia-siakan. Selesai kuliah, setelah pengajian, aku pun bekerja paruh waktu disalah satu rumah makan sebagai pramusaji. Lumayanlah buat nabung untuk keperluan mendadak.
Sudah tiga setengah tahun aku kuliah, tinggal menyelesaikan laporan akhir dan go out dari dunia mahasiswa. Hari ini tidak ada jadwal aku bekerja, jadi sepulang pengajian aku langsung menuju ke kost. Kurebahkan tubuhku diranjang, kupejamkan mata sekedar tuk menghilangkan penat yang ada, sebelum akhirnya handphone ku berbunyi.
"Halo, assalamu'alaikum," sapaku.
"Wa'alaikumsalam," jawab sang penelpon.
Kayaknya suaranya tidak asing bagiku.
"Siapa ini, ada perlu apa?" tanyaku.
"Eh, kau sudah tidak kenal suaraku ya Zi? Jahat sekali kau," kata orang tersebut.
"Emmm ma'af, memang kayaknya aku sudah pernah denger, tapi aku bener-bener lupa," jawabku lugu.
"Wah Zi, kau sudah tidak ingat lagi dengan sohibmu sendiri dari SD. Ini aku, Anto."
"Antooo," seruku.
"Masya Allah, khaifa khaluk ya akhi," sapaku riang.
"Alhamdulillah ana khoir, antum gimana?"
"Ana Alhamdulillah khoir."
Terjadilah percakan singkat antara aku dan Anto. Ternyata selama ini Anto masuk pesantren. Padahal ku pikir Anto kuliah di Universitas Negeri, karena dia dulu lulus tes di salah satu perguruan tinggi negeri.
Menjelang maghrib, kami akhiri obrolan singkat kami. Anto pun mengajakku bertemu jika ada waktu.
Hari sabtu, dimana jadwal kuliahku tidak padat, kusempatkan diri untuk menemui Anto.
Kami ngobrol panjang lebar tentang dunia kami saat ini, dunia yang telah kami jalani masing-masing.
Sampai akhirnya Anto berbicara masalah pernikahan.
"Zi, antum udah siap nikah belum?"
"Wah, kalo ana sih siap selalu To, tinggal cari calon istri yang mau sama saya saja," jawabku ringan.
"Ana punya calon, kalau mau nanti ana ketemuin sama dia," kata Anto.
"Beneran nih To, kirain bercanda."
"Siapa To calonnya?" tanyaku antusias.
"Ada deh, yang pasti kamu udah kenal kok dengannya," jawab Anto
"Tapi kamu masih inget kan To kriteria ku?" tanyaku kembali.
"Antum tenang saja Zi, insyaAllah dia lebih dari sekedar kriteriamu itu," kata Anto meyakinkan.
Dua minggu dari pertemuanku dengan Anto, dia kembali meneleponku.
"Assalamu'alaikum akhi, antum ada waktu gak?" tanya Anto.
"Wa'alaikumsalam, ada akhi. Emangnya kenapa?" aku balik bertanya.
"Bisa temui aku di Masjid Nur Adzim sore ini ba'da Ashar?" tanya Anto kembali.
"InsyaAllah bisa," kataku.
Dimasjid Nur Adzim, aku duduk didampingi Anto menunggu kedatangan seseorang yang aku tidak tau.
Setelah kira-kira lima belas menit menunggu, datang tiga orang ukhti.
Aku tak bisa melihatnya karena terhalang hijab.
Akhirnya percakapan pun dimulai antara kami, aku dan Anto serta ketiga ukhti tadi.
"Akhi Fauziah, apakah antum bener-bener sudah siap menikah?" tanya salah satu ukhti tadi padaku.
"InsyaAllah jika ini jalan yang terbaik bagiku untuk menjalankan sunah Rosul dan sebagai jalanku mendekatkan diri pada Allah, aku siap," jawabku dengan tegas.
"Baiklah kalau begitu, kita langsung ketahap perkenalan saja," kata ukhti yang satunya.
Hijab perlahan-lahan dibuka oleh Anto.
Kulihat sekilas wajah teduh calon istriku, calon pendamping hidupku, calon pengasuh dan pendidik anak-anakku, dan pembawa rahmatan lil 'alamin di rumahku nanti.
Aku tertunduk. Mataku basah. Aku tercekat. Aku tak mampu berkata apa-apa lagi. Yang kulihat sepintas, semuanya tersenyum.
Setelah tertunduk dan terdiam beberapa saat, aku memberanikan diri untuk mengangkat wajah dan memperlihatkan senyum terbaikku.
Ya Allah, ternyata ini jawaban dari perasaan yang dari dulu selalu membayangiku. Perasaan aneh yang muncul jika aku bertemu dengannya. Ya, ternyata karena dia adalah calon pendampingku menuju keridhoanMu.
Fanny, ya dia kini telah berubah. Inikah yang dikatakan Anto lebih dari sekedar kriteriaku?
Subhanallah, segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam. Dengan jilbab panjang yang ia pakai, Fanny terlihat lebih bercahaya dengan senyum yang terpancar dari wajahnya membuat ia layaknya bidadari dunia dan akhirat.
Fanny, aku mencintaimu karena Allah.
Baca Kelanjutannya Yuk_^
Itulah yang aku rasakan jika aku bertemu dengan Fanny.
"Aku kenapa ya To?" tanyaku pada sohib karibku, Anto.
"Waduh, aku bukan peramal Zi, so aku gak tau lah," jawab Anto sambil pergi meninggalkanku.
Ah masa bodo ah, pikirku.
Aku masih duduk dibangku SMA kelas satu, namaku Fauziah, biasa dipanggil Zi oleh teman-temanku. Anto adalah sahabat karibku dari SD. Fanny, yah Fanny adalah primadona di sekolahku. Banyak anak cowok yang naksir dia. Anaknya baik, ramah, murah senyum, gak sombong meskipun dia cerdas dan juara satu umum semester satu kemarin. Akupun tak bisa membohongi diri sendiri kalau aku juga suka sama dia, meskipun dia belum termasuk kriteriaku. Ya, aku ingin punya pacar yang memakai jilbab (meskipun aku sendiri bukan orang yang terlalu paham masalah agama), dan tidak hanya sekedar pacaran doank. Kalau bisa ya sampai ke pelaminan...hehehe...
"Duileee...bengong aja nie, ntar kesambet lho," suara Anto mengejutkanku.
"Ntah lah To, aku masih berfikir, kenapa aku selalu deg degan kalo lagi deket sama Fanny".
"Kan dia cuma temen aja To, lagian dia juga sudah punya cowok."
"Heran deh," kataku sambil garuk-garuk kepala yang sebenarnya tidak gatal sama sekali.
"Ah, cuma temen, atau demen nih, hahaha" ledek Anto.
"Wah ternyata, anak Rohis bisa bilang kayak gitu juga ya," balasku.
Ya Anto menjadi pengurus Rohis di SMA, dia mulai tertarik dengan agama setelah masuk SMA ini.
Anto tak mendengarkan kata-kataku, dia langsung pergi begitu saja.
Hari-hari di SMA ku lalui dengan selalu menyimpan rasa penasaranku terhadap apa yang ku rasakan.
Setelah lulus SMA, sampai aku kuliah pun perasaan itu masih ada.
Aku sedikit merasa terganggu dengan perasaan-perasaan yang selalu membayangiku.
Akhirnya ku putuskan untuk mengikuti majelis pengajian bersama teman-teman kuliah.
Awalnya aku hanya ikut-ikutan saja, hanya untuk menyibukkan diri. Tapi lama-kelamaan aku sadar bahwa inilah yang sangat ku butuhkan. Aku mulai menyukai dunia yang serba islami. Dalam setiap momen pun aku tidak mau ketinggalan. Aku ingin menjadi orang yang berguna dan benar-benar dibutuhkan bagi orang lain.
Sisa waktu kuliah pun tidak ku sia-siakan. Selesai kuliah, setelah pengajian, aku pun bekerja paruh waktu disalah satu rumah makan sebagai pramusaji. Lumayanlah buat nabung untuk keperluan mendadak.
Sudah tiga setengah tahun aku kuliah, tinggal menyelesaikan laporan akhir dan go out dari dunia mahasiswa. Hari ini tidak ada jadwal aku bekerja, jadi sepulang pengajian aku langsung menuju ke kost. Kurebahkan tubuhku diranjang, kupejamkan mata sekedar tuk menghilangkan penat yang ada, sebelum akhirnya handphone ku berbunyi.
"Halo, assalamu'alaikum," sapaku.
"Wa'alaikumsalam," jawab sang penelpon.
Kayaknya suaranya tidak asing bagiku.
"Siapa ini, ada perlu apa?" tanyaku.
"Eh, kau sudah tidak kenal suaraku ya Zi? Jahat sekali kau," kata orang tersebut.
"Emmm ma'af, memang kayaknya aku sudah pernah denger, tapi aku bener-bener lupa," jawabku lugu.
"Wah Zi, kau sudah tidak ingat lagi dengan sohibmu sendiri dari SD. Ini aku, Anto."
"Antooo," seruku.
"Masya Allah, khaifa khaluk ya akhi," sapaku riang.
"Alhamdulillah ana khoir, antum gimana?"
"Ana Alhamdulillah khoir."
Terjadilah percakan singkat antara aku dan Anto. Ternyata selama ini Anto masuk pesantren. Padahal ku pikir Anto kuliah di Universitas Negeri, karena dia dulu lulus tes di salah satu perguruan tinggi negeri.
Menjelang maghrib, kami akhiri obrolan singkat kami. Anto pun mengajakku bertemu jika ada waktu.
Hari sabtu, dimana jadwal kuliahku tidak padat, kusempatkan diri untuk menemui Anto.
Kami ngobrol panjang lebar tentang dunia kami saat ini, dunia yang telah kami jalani masing-masing.
Sampai akhirnya Anto berbicara masalah pernikahan.
"Zi, antum udah siap nikah belum?"
"Wah, kalo ana sih siap selalu To, tinggal cari calon istri yang mau sama saya saja," jawabku ringan.
"Ana punya calon, kalau mau nanti ana ketemuin sama dia," kata Anto.
"Beneran nih To, kirain bercanda."
"Siapa To calonnya?" tanyaku antusias.
"Ada deh, yang pasti kamu udah kenal kok dengannya," jawab Anto
"Tapi kamu masih inget kan To kriteria ku?" tanyaku kembali.
"Antum tenang saja Zi, insyaAllah dia lebih dari sekedar kriteriamu itu," kata Anto meyakinkan.
Dua minggu dari pertemuanku dengan Anto, dia kembali meneleponku.
"Assalamu'alaikum akhi, antum ada waktu gak?" tanya Anto.
"Wa'alaikumsalam, ada akhi. Emangnya kenapa?" aku balik bertanya.
"Bisa temui aku di Masjid Nur Adzim sore ini ba'da Ashar?" tanya Anto kembali.
"InsyaAllah bisa," kataku.
Dimasjid Nur Adzim, aku duduk didampingi Anto menunggu kedatangan seseorang yang aku tidak tau.
Setelah kira-kira lima belas menit menunggu, datang tiga orang ukhti.
Aku tak bisa melihatnya karena terhalang hijab.
Akhirnya percakapan pun dimulai antara kami, aku dan Anto serta ketiga ukhti tadi.
"Akhi Fauziah, apakah antum bener-bener sudah siap menikah?" tanya salah satu ukhti tadi padaku.
"InsyaAllah jika ini jalan yang terbaik bagiku untuk menjalankan sunah Rosul dan sebagai jalanku mendekatkan diri pada Allah, aku siap," jawabku dengan tegas.
"Baiklah kalau begitu, kita langsung ketahap perkenalan saja," kata ukhti yang satunya.
Hijab perlahan-lahan dibuka oleh Anto.
Kulihat sekilas wajah teduh calon istriku, calon pendamping hidupku, calon pengasuh dan pendidik anak-anakku, dan pembawa rahmatan lil 'alamin di rumahku nanti.
Aku tertunduk. Mataku basah. Aku tercekat. Aku tak mampu berkata apa-apa lagi. Yang kulihat sepintas, semuanya tersenyum.
Setelah tertunduk dan terdiam beberapa saat, aku memberanikan diri untuk mengangkat wajah dan memperlihatkan senyum terbaikku.
Ya Allah, ternyata ini jawaban dari perasaan yang dari dulu selalu membayangiku. Perasaan aneh yang muncul jika aku bertemu dengannya. Ya, ternyata karena dia adalah calon pendampingku menuju keridhoanMu.
Fanny, ya dia kini telah berubah. Inikah yang dikatakan Anto lebih dari sekedar kriteriaku?
Subhanallah, segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam. Dengan jilbab panjang yang ia pakai, Fanny terlihat lebih bercahaya dengan senyum yang terpancar dari wajahnya membuat ia layaknya bidadari dunia dan akhirat.
Fanny, aku mencintaimu karena Allah.